Akta Kelahiran Anak Atas Nama Ibu Tinggi di Beltim, Karena Kawin di Luar Nikah atau Nikah Siri?

Akta Kelahiran Anak Atas Nama Ibu Tinggi di Beltim, Karena Kawin di Luar Nikah atau Nikah Sirih
Ilustrasi bayi: Foto: Pixabay.

Beltimnews.com, Manggar – Jika membicarakan persoalan anak-anak, seolah tak kan ada habisnya. Masih terasa hangat diperbincangkan bukan, beberapa hari lalu Belitung Timur sempat digemparkan dengan kasus anak-anak yang terjerumus dalam aktivitas prostitusi.

Namun, sebenarnya itu adalah salah satu dari sekian permasalahan yang berkaitan dengan anak-anak, yang terdengar oleh kita.

Sebenarnya, ada banyak persoalan berkaitan dengan anak yang mungkin kita anggap biasa saja, namun memiliki implikasi yang berat dan menyentuh segala aspek masyarakat. Yaitu, Fenomena Akta Kelahiran Anak Atas Nama Ibu.

Nah, pertanyaannya kenapa tuh ujug-ujugnya jadi penting bahas persoalan akta anak atas nama ibu?

Jadi gini, menurut data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dinas Dukcapil) Belitung Timur, angka Akta Kelahiran Anak atas nama Ibu sangat tinggi di Belitung Timur. Angka tersebut tercatat mencapai total 2906 orang pada semester II Tahun 2021 lalu dan angka ini terus berkembang hingga Tahun 2022 dengan estimasi pencapaian angka mendekati 3000-an orang.

Tentu, dengan angka akta kelahiran anak atas nama ibu yang tinggi tersebut, mengindikasikan ada yang tak beres sebetulnya yang terjadi di tengah masyarakat kita.

Mengapa Ada Akta Kelahiran Anak Atas Nama Ibu?

Seperti yang diketahui, pada dasarnya akta kelahiran terbagi menjadi tiga jenis yaitu akta kelahiran anak tanpa asal usul, akta kelahiran anak lahir atau atas nama seorang ibu saja, dan akta kelahiran dari perkawaninan yang sah.

Berbeda dengan akta kelahiran anak tanpa asal usul atau dari perkawinan yang sah, seorang anak yang memiliki akta kelahiran atas nama ibu sering dikonotasikan negatif oleh masyarakat kita.

Salah satu kata yang melekat ialah si anak tadi merupakan “anak hasil perkawinan di luar nikah atau anak hasil zina.” Memang iya sebetulnya hal ini menjadi salah satu penyumbang penyebab dari terbitnya akta kelahiran anak atas nama ibu ini.

Namun, kita perlu melihat pada perspektif lain dari penyebab tingginya angka tersebut. Adanya perlangsungan pernikahan yang tidak resmi atau kita kenal istilahnya nikah siri. Mungkin kita kadang menganggap hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan bahkan mungkin dianggap biasa saja. Kesannya, It’s no problem.

Padahal, fenomena ini merupakan salah satu akar yang cukup bahaya berkaitan dengan persoalan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa jika tidak ditanggapi dengan bijak.

Problematika Nikah Siri dan Dampaknya

Nikah siri merupakan nikah yang tak dicatatkan di pemerintah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA). Sehingga, tidak mempunyai kekuatan hukum terlebih pada ibu dan anaknya.

Baik alasan diberlangsungkannya secara positif maupun negatif, nikah siri ini sering menjadi masalah yang komplek di masyarakat dan menimbulkan pro dan kontra di sisi lainnya.

“Sebenarnya saya tidak mempersoalkan orang yang mau menikah. Namun persoalan nikah siri ini kadang terlalu kompleks kalau dibahas. Salah satunya, timbul masalah pada wanita dan anak yang lahir akibat pernikahan siri ini,” ujar Yuspian, saat ditemui Beltimnews.com, Senin (01/08/2022).

Selaku Kepala Dinas Dukcapil, Yuspian mengakui bahwa persoalan ini merupakan salah satu akar dari semua persoalan di masyarakat yang dampak salah satunya berkaitan dengan anak dan perempuan.

Menurut Yuspian, sebenarnya tidak ada alasan orang seharusnya melakukan nikah siri jika mengetahui sebab dan dampaknya. Sebab, kejadian nikah siri yang banyak terjadi di lapangan ini terkadang dilakukan oleh dua atau satu orang yang tak beres. Entah tak beres dalam persoalan identitas atau karena tujuan ingin melakukan nikah siri ini yang diartikan untuk hal yang negatif.

“Dampak dari pernikahan siri ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kondisi. Kondisi jika nikah siri itu di kemudian hari dilaporkan atau tidak dilaporkan. Tentu, kondisi ini sama-sama memiliki dampak yang kurang baik. Pastinya bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi targetnya,” ujar Yuspian.

Pada kondisi nikah siri dilakukan tanpa melapor untuk di kemudian hari tidak ada itikad ingin mendaftarkan pernikahan secara resmi, perempuan setidaknya salah satu pihak yang dirugikan.

Persoalan seperti poligami, pelecehan seksual sampai ke persoalan perceraian merupakan resiko yang dekat bagi pihak perempuan ketika pernikahan siri dilakukan. Sebab, lagi-lagi alasannya karena tidak adanya kejelasan status pernikahan di mata hukum maupun masyarakat atau lemah secara hukum jika ada persoalan atau kasus terjadi antara kedua pihak yang melangsungkan pernikahan tersebut.

Lalu, yang paling krusial ialah dampaknya bagi seorang anak yang lahir dari hasil pernikahan siri dengan tidak ada keinginan di kemudian hari untuk mendaftarkan nikah resmi yang diakui oleh negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA).

Apalagi, sampai tidak mendaftarkan atau membuat akta kelahiran untuk anak. Anak akan sulit mendapat akses pendidikan maupun sarana dan prasarana publik khususnya dalam hal pendidikan.

Jika nikah siri dilakukan dengan ada itikad untuk mendaftarkan resmi pernikahan di kemudian hari, hal ini biasanya dilakukan karena sebab yang kadang masih dianggap positif. Kondisi ini bukannya tidak memiliki dampak sama sekali, tetap bagi perempuan dan anak akan memiliki dampak kurang baik secara psikologis karena sering dianggap atau dipandang negatif oleh masyarakat pada umumnya.

Menurut Yuspian ini perlu jadi pemikiran bersama. Bahkan, ini menjadi tugas yang tidak selesai hanya di tangan satu pihak saja. Butuh kesadaran bersama jika ingin mewujudkan ekosistem masyarakat yang baik di mana masyarakat dapat saling menikmati haknya di samping menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.

“Nah, banyak jadi persoalan ini kita sering menuntut hak sembari mengabaikan kewajiban kita sebagai warga negara. Nikah siri salah satu contohnya. Kalau udah terjadi apa-apa nuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan padahal di sisi lain kewajiban sebagai warga negara diabaikan dengan tidak mendaftarkan pernikahan secara resmi atau tidak mengurus akta kelahiran anak kalau tidak ada keperluan. Jadi melarat tuh persoalannya nanti sampai ke anak putus sekolah, stunting, pernikahan dini, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penting menghidupkan moralitas di masyarakat untuk melakukan pernikahan yang resmi melaui KUA sebagai warga negara yang baik. Kan nikah di KUA udah gratis juga,” ujar Yuspian.*

(Monika | Beltimnews.com)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *