Beltimnews.com – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mitra Jaya Selinsing merupakan salah satu contoh konkrit yang bisa menjadi pembelajaran bagi BUMDes lain, khususnya di Belitung Timur.
Penghargaan yang pernah diraih pada 22 November 2018 lalu sebagai juara satu untuk Kategori BUMDes Maju Tingkat Provinsi dan masuk 40 besar Bursa Inovasi Nasional tentang pemanfaatan lahan kritis, menjadikan BUMDes ini cukup terkenal pada tahun-tahun tersebut.
Tak hanya sampai situ saja, dua tahun terakhir ini BUMDes Mitra Jaya Selinsing juga melakukan terobosan baru dengan menggandeng PT Timah Tbk sebagai mitranya dalam mengelola tempat wisata yang mengusung konsep agrowisata.
Tentu, kita bertanya-tanya bagaimana upaya yang dilakukan BUMDes Mitra Jaya Selinsing hingga layak mendapat apresiasi yang luar biasa tersebut?
“Sebenarnya BUMDes itu harus kreatif, paling penting harus bisa merangkul masyarakat desanya, bukan menyaingi,” ujar Diki Afriansyah, Direktur Utama BUMDes Mitra Jaya Selinsing saat ditemui Beltimnews.com Kamis (28/07/2022).
Menurut Diki, BUMDes harus mampu mandiri, bahkan dapat menyejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu mindset usaha yang dikelola BUMDes ini harus dapat memberdayakan dan diberdayakan oleh masyarakat setempat, sehingga harus pintar cari-cari peluang di tengah masyarakat.
“Konsep kami gini, gimana kalau kita buka usaha itu ya pengennya untung. Tapi, usaha itu juga butuh modal gak sedikit. Kadang kalau kita cuma mikir ngarep dari dana desa, agak susah juga. Jadi, kalau ada mitra baik itu perusahaan swasta atau masyarakat setempat yang ingin bantu kembangin usaha di desa ya kenapa nggak, gitu,” ujar Diki.
Baginya, bermitra itu salah satu kunci kesuksesan BUMDes yang saat ini ia ketuai. Diki mengatakan, dengan bermitra, usaha yang BUMDes kelola tak harus pusing memikirkan modal untuk memulai asal punya konsep mau jalan ke depannya harus seperti apa. Jadi bisa berkelanjutan.
Gandeng PT Timah Tbk Sebagai Mitra
PT Timah Tbk merupakan salah satu perusahaan yang dicari-cari sebagai mitra bagi para pelaku usaha, khususnya sehubungan dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility). Namun, tak sedikit juga yang menganggap terkadang berkonotasi negatif ketika para pelaku usaha menggandeng PT Timah Tbk sebagai mitra dengan kata pamungkasnya, “PT Timah ini melakukan usaha dengan mitranya sebagai bentuk pencitraan.”
“Sebenarnya kami tidak menafikan hal itu. Orang juga nggak salah kalau bilang dana tersebut kadang pencitraan. Tapi, intinya bukan itu, kita harus mampu ngambil peluang yang dianggap pencitraan itu jadi sesuatu yang bermanfaat di lapangan,” ujar Diki.
Diki mengatakan bahwa memang selama ini mereka telah menggandeng PT Timah Tbk sejak 2017 dengan awalnya membuka lahan pertanian untuk menanam cabai di eks tambang timah.
Baginya bermitra dengan PT Timah Tbk yang kadang dianggap proyek pencitraan tak sepenuhnya menjadi persoalan. Tapi, memang yang namanya bermitra harus paham seluk beluk resikonya.
“Keuntungan bermitra itu kita nggak pusing mikirin modal awal pastinya, terutama sepengalaman kami dengan PT Timah Tbk. Tempatnya disediakan, fasilitasnya juga, tinggal kita yang ngelolanya harus bener-bener tahan ngerjainnya. Karena kadang kayak kami yang gunain aset orang ya berarti harus betul-betul kerjanya,” ujar Diki.
Bukannya tak pernah nemui kegagalan. Diakui Diki, BUMDes ini pernah terkenal dari pemanfaatan lahan eks tambang timah jadi lahan perkebunan cabai. Kini lahan tersebut sudah tak beroperasi lagi.
Alasannya komplit. Menurut Diki bagaimanapun menyulap lahan eks tambang jadi lahan pertanian, memang dinilai kurang realitis jika harus memikirkan untung-rugi. Tapi, kalau hanya sekadar memanfaatkan lahan kosong, mungkin hal tersebut tetap bisa dilakukan.
“Pupuk sekarang mahal, sedangkan tanah yang kurang humus karena bekas tambang tersebut perlu banyak menggunakan ini. Ngerawat cabainya juga agak sedikit rumit, apalagi kalau udah berhadapan dengan hamanya sehingga panen pun kurang maksimal. Yah, intinya kurang realitis. Bengkak tetap di biaya pengeluaran dibanding pemasukan,” ujar Diki.
Belajar dari Kegagalan Usaha dalam Bermitra
Diki sempat bingung juga bagaimana harus memulai usaha BUMDes. Hingga kemudian ia menemukan jawaban dengan bermitra lagi dengan PT Timah Tbk, yakni dalam mengelola tempat wisata yang dikenal dengan “Wisata Kampong Reklamasi Selinsing”. Destinasi ini berada di Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur.
“Sebenarnya sempat merasa untung juga gitu, ada aset PT Timah yang lahannya berada di Desa Selinsing. Yah, dengan menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) untuk mengelola aset tersebut jadi tempat wisata, kenapa nggak gitu. Udah disediain tempat, anggaran untuk fasilitasnya juga udah disediain, paling penting hasilnya tersebut buat kami (BUMDes) tinggal mau aja kelolanya bener-bener atau nggak,” ujar Diki.
Menurut Diki, sejak tempat ini dibuka hingga memungut karcis untuk masuk sejak Mei 2022 lalu, rata-rata omset kotor yang BUMDes dapatkan per bulan dengan mengelola tempat tersebut berkisar 15 juta rupiah dengan pengunjung per minggu terbanyak pernah mencapai seribuan orang.
“Kami merasa ini proyek bagus, nggak cuma bagus feedback-nya tapi kami juga dapat memberdayakan masyarakat sekitar untuk bekerja mengurus tempat tersebut,” ujar Diki.
Kemudian resiko usaha, khususnya dalam bentuk tempat wisata ialah bergantung pada pengunjung. Kalau pengunjung bosan, tempat jadi sepi. Namun, Diki masih tetap optimis memandang hal ini, karena proyek pembangunan di kawasan Kampong Reklamasi Selinsing ini belum seratus persen digalakkan PT Timah Tbk.
Ia menilai, adanya pembangunan secara bertahap di tempat wisata tersebut, akan selalu ada hal baru untuk dinanti masyarakat. Istilahnya nggak gampang kehilangan pengunjung kalau ada pembangunan-pembangunan baru di dalamnya.
Selain itu, paling penting, dana yang telah didapatkan BUMDes ini dari Kampong Reklamasi maupun dari masyarakat setempat yang berkontribusi memberikan bantuan untuk usaha di desa, dihidupkan dan dikembangkan kembali lewat Budidaya Madu Trigona yang saat ini mempunyai sekitar 50 kandang lebah dengan omset per dua bulan senilai 500 ribu rupiah sejak dibangun awal tahun 2022 ini.
Bagi Diki, usaha ini tidak memerlukan biaya perawatan yang mahal, belajar dari kasus menanam cabai sebelumnya sehingga dinilai worth it untuk dilakukan. Hanya saja harus pinter memasarkan. Menurutnya, kreativitas dan inovasi harus terus dilakukan sebab usaha itu perlu melihat peluang dan konsepnya dapat saling mendapat manfaat kebaikan dan memberdayakan masyarakat.*
(Monika | Beltimnews)